Minggu, 05 April 2020

Farmakoterapi Pengobatan COVID-19 (Favipiravir, Klorokuin, Oseltamivir)

Ada 4 obat yang dibahas, yakni avigan (favipiravir), klorokuin, hidroksiklorokuin, tamiflu (oseltamivir). Dalam kajian edisi perdana ini dijelaskan bahwa favipiravir, klorokuin, hidroksiklorokuin secara mekanisme kerjanya dimungkinkan dapat bermanfaat untuk terapi COVID-19, terkecuali oseltamivir yang merupakan penghambat enzim neuraminidase virus dimana virus SARS-CoV-2 tidak memiliki enzim tersebut, sehingga kemungkinan tidak bermanfaat untuk pengobatan COVID-19. Namun semua keempat obat ini masih dilakukan uji klinik untuk memastikannya.
Ketua PERDAFKI, Dr. Instiaty, Sp.FK, PhD, menjelaskan bahwa SARS-CoV-2 (Severe acute respiratory syndrome-corona virus-2), merupakan strain virus corona baru penyebab infeksi akut saluran napas yang dikenal sebagai COVID-19 (corona virus disease 2019). Virus ini diidentifikasi pertama kali bulan Januari 2020 saat terjadi wabah di Wuhan, China.

Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai pandemi. Manifestasi klinik Covid-19 bervariasi; sebagian besar mengalami gangguan saluran napas yang ringan dan dapat sembuh sendiri (selflimiting), tetapi sebagian kecil, umumnya pasien dengan sistem imun menurun, berusia lanjut, atau memiliki komorbiditas tertentu, dapat mengalami pneumonia berat yang progresif, kegagalan multiorgan dan kematian. Sampai saat ini belum ada obat spesifik untuk COVID-19.

Sejumlah obat, baik obat lama yang sudah digunakan untuk indikasi lain, maupun yang statusnya masih obat uji, sedang diteliti di berbagai belahan dunia. Dalam menyimpulkan efektivitas dan keamanan suatu obat, perlu dicermati tingkat bukti yang sudah tersedia. Baku emas untuk pembuktian efektivitas dan keamanan suatu obat adalah randomized controlled trial (RCT), dan sampai tulisan ini dibuat, laporan hasil RCT obat-obat yang digunakan untuk COVID-19 masih sangat terbatas, karena umumnya penelitiannya masih berjalan.

Bukti terbatas efektivitas dan keamanan obat-obat tersebut didapat dari uji pendahuluan pada sejumlah kecil pasien, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menerapkannya di lapangan, dengan menimbang betul manfaat dan risikonya. Mengingat pentingnya informasi terkait obat-obat yang digunakan dalam tatalaksana COVID 19,

PERDAFKI bekerja sama dengan Program Pendidikan Dokter Spesialis Farmakologi Klinik FKUI menyusun rangkuman informasi terkait aspek farmakologi dan penggunaan obat dalam tatalaksana COVID-19. Kajian obat ini mencakup favipiravir, klorokuin, hidroksiklorokuin, dan oseltamivir, dan merupakan bagian pertama dari beberapa seri. Kajian bersifat dinamis, dan dapat diperbarui sesuai perkembangan pengetahuan dan hasil studi terkini.

1. Favipiravir


Profil farmakologi


Favipiravir pertama kali dikembangkan oleh Toyama Chemicals Jepang (merek dagang: Avigan), dan pada tahun 2014 memperoleh izin edar di Jepang untuk terapi influenza yang tidak memberi respons terhadap pengobatan konvensional. Beberapa studi selanjutnya memperlihatkan efektivitas favipiravir terhadap
virus Ebola.1,2

Mekanisme kerja


Favipiravir adalah prodrug yang mengalami ribosilasi dan fosforilasi intraseluler menjadi bentuk aktif favipiravir-RTP. Favipiravir-RTP berikatan dengan dan menghambat RNA- dependent RNA polymerase (RdRp) virus, mengakibatkan hambatan transkripsi dan replikasi genom virus3,4 Domain katalitik RdRp tersebut serupa di antara virus-virus RNA, membuat favipiravir memiliki spektrum antivirus RNA yang luas.4

Karena manusia tidak memiliki RdRp, Favipiravir relatif aman digunakan.4 Akan tetapi penggunaan favipiravir harus dihindari pada ibu hamil karena berisiko teratogenik dan embriotoksik.4

Farmakokinetik:


Makanan menunda pencapaian kadar puncak favipiravir dalam plasma selama 1,5 jam, menurunkan Cmax sekitar 50%, dan menurunkan AUC sebanyak 13%. Sekitar 54% favipiravir terikat protein plasma. Favipiravir terdisitribusi luas di dalam tubuh, termasuk ke trakhea dan paru. Favipiravir dimetabolisme di hati menjadi metabolit utama (M1) oleh enzim aldehyde oxidase (AO), sedangkan metabolit aktif (favipiravir-RTP) dibentuk intraseluler. Nilai Cmax linear pada dosis 30 mg hingga 1600 mg. Waktu paruhnya +/- 6 jam, dan memanjang pada dosis tinggi (≥800 mg).6 Metabolit favipiravir diekskresi melalui ginjal.

Efek samping


Pada uji klinik fase 3 untuk pengobatan influenza, efek samping favipiravir yang dijumpai adalah peningkatan kadar asam urat, gangguan saluran cerna, diare, dan peningkatan SGOT & SGPT. Berdasarkan studi toksisitas pada hewan coba, favipiravir tidak direkomendasikan pemberiannya untuk anak-anak. Data penggunaan klinis favipiravir pada pasien risiko tinggi masih terbatas.6

Potensi pemanjangan interval QT Pada studi in-vitro, favipiravir menghambat hERG current pada Cmax yang 3 kali lebih tinggi dibandingkan Cmax pada dosis untuk manusia sehingga risiko pemanjangan interval QT pada dosis terapi tidak besar. Pada orang sehat, efek pemberian favipiravir 1200 mg dan 2400 mg terhadap interval QT tidak berbeda dibandingkan subyek yang mendapat placebo. Interaksi obat Favipiravir menghambat aktivitas CYP2C8 dan menghambat deesterifikasi oseltamivir pada kadar >3000 µmol/L. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dampak interaksi favipiravir dengan obat-obat tersebut

Uji klinik penggunaan favipiravir pada COVID- 19


Studi-studi favipiravir yang mencakup total 320 pasien COVID-19 di China diklaim membuktikan efikasi dan keamanan favipiravir, akan tetapi laporan lengkap hasil penelitiannya belum dipublikasi. Salah satu dari studi tersebut, suatu open label non randomized controlled study, dilaksanakan di Shenzen China pada 80 pasien COVID-19 (35 favipiravir dan 45 lopinavir/ritonavir).5 Selain mendapat favipiravir, subyek pada kedua kelompok mendapat interferon alfa 1b 5 juta unit aerosol inhalasi dua kali sehari.

Favipiravir diberikan peroral selama 14 hari dengan dosis hari pertama 1600 mg dua kali sehari, dilanjutkan 600 mg dua kali sehari ( hari ke-2 sampai ke-14). Hasilnya, viral clearance time lebih pendek pada kelompok favipiravir (median 4 hari) dibandingkan pada kelompok lopinavir/ritonavir 11 hari). Tidak ada efek samping serius pada kelompok favipiravir, dan jumlah kejadian tidak diinginkan lebih sedikit pada kelompok favipiravir, berupa diare, gangguan fungsi hati dan gangguan nutrisi.5 Pasien dengan penyakit respirasi berat dan memerlukan perawatan ICU dieksklusi dalam studi tersebut, sehingga efikasi dan keamanan favipiravir pada kelompok ini perlu diteliti lebih lanjut. Akan tetapi publikasi hasil penelitian ini (Cai Q, et al)5 baru-baru ini ditarik atas permintaan penulis/editor (https://www.sciencedirect.com/science/artic le/pii/S2095809920300631).

Berdasarkan hasil studi di atas dan studi lain yang belum dipublikasi, favipiravir mendapat izin edar di China untuk indikasi pengobatan COVID-19. Penelitian lain terkait favipiravir masih berlangsung di China dan Thailand.

Referensi:


1. Sissoko D, Laouenan C, Folkesson E, et al. Experimental Treatment with Favipiravir for Ebola Virus Disease (the JIKI Trial): A Historically Controlled, Single-Arm Proof-of- Concept Trial in Guinea. PLoS Med. 2016;13(3):1-36. doi:10.1371/journal.pmed.1001967
2. Kerber R, Lorenz E, Duraffour S, et al. Laboratory Findings, Compassionate Use of Favipiravir, and Outcome in Patients with Ebola Virus Disease, Guinea, 2015 – A Retrospective Observational Study. J Infect Dis. 2019;220(2):195-202. doi:10.1093/infdis/jiz078
3. Dong L, Hu S, Gao J. Discovering drugs to treat coronavirus disease 2019 (COVID-19). Drug Discov Ther. 2020;14(1):58-60. doi:10.5582/ddt.2020.01012
4. Furuta Y, Komeno T, Nakamura T. Favipiravir (T-705), a broad spectrum inhibitor of viral RNA polymerase. Proc Japan Acad Ser B Phys Biol Sci. 2017;93(7):449-463. doi:10.2183/pjab.93.027
5. Cai Q, Yang M, Liu D, et al. Experimental Treatment with Favipiravir for COVID-19 : An Open-Label Control. Engineering. 2020. doi:10.1016/j.eng.2020.03.007 (retracted)
6. Pharmaceuticals and Medical Devices Agency. Evaluation of Avigan Tablet 200 Mg.; 2014.

Penggunaan pada pasien COVID-19


– Bukti efikasi dan keamanan penggunaan favipiravir pada COVID-
19 masih sangat terbatas. Penggunaannya memerlukan pertimbangan cermat manfaat dan risiko bagi pasien.
– Beberapa uji klinik penggunaan favipiravir pada COVID-19 masih berlangsung atau dalam perencanaan.
– Publikasi hasil uji klinik pendahuluan favipiravir di Shenzen China terhadap
80 pasien COVID-19 ditarik atas permintaan penulis,/editor.5 Dalam uji tersebut favipiravir diberikan hingga viral clearance atau maksimal 14 hari , dalam kombinasi dengan interferon alfa 1b
– Favipiravir tidak dianjurkan untuk ibu hamil (teratogenik), dan anak-anak.
– Efek samping yang umum: gangguan saluran cerna (diare), peningkatan asam urat, peningkatan SGOT & SGPT.
– Ada potensi interaksi antara favipiravir dengan klorokuin (substrat CYP2C8) dan dengan oseltamivir, tetapi kemaknaan klinisnya belum diketahui.

2. Klorokuin


Klorokuin, obat golongan 9-aminokuinolin, dikenal sejak tahun 1934 sebagai antimalaria pengganti kina yang efektif.

Karakteristik


klorokuin sebagai antimalaria sudah dikenal luas, akan tetapi profil efektivitas dan keamanannya untuk pengobatan COVID-19 masih terbatas. Di Indonesia, klorokuin tidak lagi direkomendasikan sebagai obat utama antimalaria karena masalah resistensi yang tersebar luas. Klorokuin juga digunakan dalam tatalaksana penyakit autoimun seperti
rheumatoid artritis dan lupus eritomatosus.1 Sejumlah penelitian invitro memperlihatkan klorokuin memiliki potensi aktivitas anti virus berspektrum luas.

Mekanisme kerja


Klorokuin meningkatkan pH endosome yang diperlukan untuk fusi virus dengan sel inang, dan mengganggu glikosilasi reseptor selular virus.3,4 Melihat mekanisme kerjanya, klorokuin bekerja pada tahap awal infeksi dengan menghambat masuknya virus ke dalam sel inang.

Farmakokinetik


Klorokuin diserap dengan baik pada pemberian oral dan terdistribusi luas ke jaringan, termasuk hati, limpa, ginjal, paru-paru, juga ke otak dan sumsum tulang belakang. Enam puluh persen klorokuin terikat protein plasma. Kadar puncak klorokuin dicapai dalam 3-5 jam. Klorokuin dimetabolisme menjadi metabolit aktif desetilklorokuin dan bisdesetilklorokuin oleh enzim CYP2C8, CYP3A4, dan CYP2D6. Klorokuin (+/- 50%) dan desetilklorokuin (+/-25%)
diekskresi melalui urin. Waktu paruhnya panjang, dari beberapa hari hingga minggu. Waktu paruh terminal berkisar antara 30 hingga 60 hari.

Efek samping dan toksisitas


Sebagai antimalaria, klorokuin aman bila digunakan sesuai dosis dan lama penggunaan yang direkomendasikan. Efek samping akut lebih sering terjadi bila klorokuin diberikan terlalu cepat melalui rute parenteral. Toksisitas akut dapat terjadi pada pemberian dosis tunggal 30 mg/kg BB. Efek samping kardiovaskular berupa hipotensi, vasodilatasi, gangguan fungsi miokard, aritmia, dan henti jantung. Efek samping SSP berupa konvulsi dan koma. Efek samping lain berupa pruritus, hemolisis (jarang). Pada pemberian oral klorokuin dapat menimbulkan mual-muntah. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan ototoksisitas dan retinopati (pada penggunan dosis harian >250 mg, dengan dosis kumulatif lebih dari 1 g/kg BB).

Peringatan dan Kontraindikasi:


Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi hati berat atau ada gangguan darah harus hati-hati, pada pasien dengan defisiensi G6PD dapat terjadi hemolisis. Dosis harus disesuaikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Tidak direkomendasikan digunakan pada penderita epilepsi, miastenia gravis, porfiria, dan psoriasis.

Interaksi obat


Klorokuin dapat menyebabkan aritmia jantung akibat perpanjangan interval QT sehingga harus hati-hati diberikan bersama obat lain yang juga berpotensi menyebabkan perpanjangan interval QT seperti antimikroba golongan kuinolon (levofloksasin, siprofloksasin, moksifloksasin), makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin) dan obat-obat antiaritmia.Klorokuin menghambat enzim CYP2D6, berpotensi meningkatkan kadar obat yang
dimetabolisme oleh enzim tersebut (antidepresan, antipsikotik, amiodaron, lidokain, dll)

Kaolin dan antasida yang mengandung kalsium dan magnesium dapat mengganggu absorpsi klorokuin

Bukti efikasi dan keamanan pada COVID 19


1. Uji invitro

Efek antivirus klorokuin yang diujikan pada kultur sel primata (Vero E6) yang diinfeksi virus SARS-Cov memperlihatkaan bahwa klorokuin efektif mengurangi jumlah sel yang terinfeksi.3 Klorokuin dengan konsentrasi 0.1–1 μM mengurangi infeksi sebesar 50%, konsentrasi 33-100 μM mengurangi infeksi sampai dengan
90– 94%. Uji invitro efek klorokuin pada kultur yang sel Vero E6 yang diinfeksi virus SARS-Cov2 dipublikasikan dalam bentuk research letter.4

Klorokuin dilaporkan dapat menghambat perbanyakan virus SARS-Cov2 pada konsentrasi yang dapat dicapai dengan dosis standar yang digunakan pada manusia. EC90 klorokuin terhadap SARS-Cov2 pada kultur sel Vero E6 adalah 6.90 μM. 4

2. Uji klinik


Sampai saat ini belum ada publikasi research article. Artikel yang dipublikasikan berupa surat naratif, editorial, konsensus ahli, yang data uji kliniknya tidak bisa diakses. Berbagai RCT untuk menguji efikasi dan keamanan penggunaan klorokuin pada COVID 19 masih berlangsung atau dalam perencanaan.6

Surat naratif oleh penulis China (Gao J, et al) melaporkan bahwa berdasarkan data dari lebih dari 100 pasien yang termasuk dalam uji klinik multisenter yang dilakukan di Tiongkok, klorokuin fosfat menunjukkan kemanjuran dan keamanan dalam mengobati pneumonia terkait COVID-19.2 Data penelitian ini tidak dapat diakses.

Konsensus para ahli di China diterbitkan pada tanggal 20 Februari 2020 oleh kelompok kolaborasi multisenter dari Departemen Sains dan Teknologi Provinsi Guangdong merekomendasikan tablet klorokuin fosfat, dengan dosis 500 mg dua kali per hari selama 10 hari untuk pasien dengan diagnosis pneumonia SARS-CoV-2 ringan, sedang dan berat, asalkan tidak ada kontraindikasi terhadap obat tersebut.5 Diperlukan kehati-hatian dengan melakukan tes darah untuk memantau adanya anemia, trombositopenia, leukopenia serta gangguan serum elektrolit dan/atau disfungsi hati dan ginjal. Juga direkomendasikan elektrokardiografi rutin untuk memantau kemungkinan terjadi perpanjangan interval QT atau bradikardia, serta anamnesis pasien untuk mengetahui potensi gangguanvisual dan/atau mental.

Panel merekomendasikan untuk menghindari pemberian bersama obat-obatan lain yang diketahui dapat memperpanjang interval QT, misalnya antimikroba kuinolon, makrolida, ondansetron, serta berbagai obat antiaritmia, antidepresan, dan antipsikotik.5

The Dutch Center of Disease Control dalam dokumen publik di situs webnya, menyarankan penggunaan klorokuin untuk COVID-19 berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan terapi oksigen atau dirawat di ICU . Namun,
dokumen itu juga menyatakan bahwa merawat pasien dengan perawatan suportif yang optimal saja masih merupakan pilihan yang masuk akal, karena kurangnya bukti yang mendukung. Dosis klorokuin basa oral yang disarankan untuk orang dewasa adalah: Hari pertama: 600 mg , kemudian 300 mg pada 12 jam berikutnya. Hari
2-5: 2 x 300 mg /hari. Dianjurkan untuk menghentikan pengobatan pada hari ke 5 untuk mengurangi risiko efek samping, mengingat waktu paruh obat yang panjang (>30 jam).6

Saat ini, lebih dari 20 uji klinik di China sedang berlangsung atau menunggu izin pelaksanaan.6

Referensi


1. M. Rolain, P.Colson, D.Raoult. Recycling of chloroquine and its hydroxyl analogue to face bacterial, fungal and viral infection in the 21st century. Int J Antimicrob Agents 2007;30:297- 308
2. Gao J, Tian Z, Yang X. Breakthrough: chloroquine phosphate has shown apparent efficacy in treatment of COVID-19 associated pneumonia in clinical studies. Biosci Trends 2020. https://doi.org/10.5582/bst.2020.01047.
3. Vincent MJ, Bergeron E, Benjannet S, Erickson BR, Rollin PE, Ksiazek TG, et al. Chloroquine is a potent inhibitor of SARS coronavirus infection and spread. Virology Journal 2005, 2:69
4. Wang M, Cao R, Zhang L, Yang X, Liu J, Xu M, et al. Remdesivir and chloroquine effectively inhibit the recently emerged novel coronavirus (2019-nCoV) in vitro. Cell Res 2020. https://doi.org/10.1038/s41422–020–0282–0
5. Multicenter collaboration group of Department of Science and Technology of Guangdong Province and Health Commission of Guangdong Province for chloroquine in the treatment of novel coronavirus pneumonia. Expert consensus on chloroquine phosphate for the treatment of novel coronavirus pneumonia. Zhonghua Jie He He Hu Xi Za Zhi 2020;43 E019–
6. A. Cortegiani, G. Ingoglia, M. Ippolito, et al., A systematic review on the efficacy and safety of chloroquine for the treatment of COVID-19, Journal of Critical Care, https://doi.org/10.1016/j.jcrc.2020.03.005

Pengunaan pada pasien COVID-19


  • Bukti efikasi dan keamanan penggunaan klorokuin pada COVID- 19 masih terbatas, berdasarkan studi awal berskala kecil yang datanya tidak dapat diakses. Keputusan menggunakan klorokuin harus didasari pertimbangan manfaat dan risiko yang cermat bagi
  • Meskipun relatif aman, klorokuin dapat menimbulkan efek samping serius seperti aritmia jantung, sehingga penggunaannya harus selalu
  • RCT sebagai baku emas untuk membuktikan keampuhan dan keamanan klorokuin dalam pengobatan COVID-19 umumnya masih berjalan, belum ada publikasi hasil
  • Rekomendasi dosis di China: 2x 500 mg per hari klorokuin fosfat selama 10 hari
  • Rekomendasi dosis di Belanda: penggunaan klorokuin dibatasi 5 hari saja karena waktu paruhnya panjang. Hari pertama: 600 mg klorokuin basa (setara dengan 1000 mg klorokuin fosfat), kemudian 300 mg klorokuin basa (setara dengan 500 mg klorokuin fosfat) pada 12 jam berikutnya. Hari 2 – 5: 2 x 300 mg klorokuin basa (setara dengan 2×500 mg klorokuin fosfat)
  • Klorokuin dapat menimbulkan efek samping serius aritmia jantung. Hati- hati pemakaian bersama obat lain yang berpotensi memperpanjang interval QT seperti antimikroba golongan kuinolon, makrolid, dan obat-obat antiartitmia.

3. Hidroksiklorokuin


Hidroksiklorokuin merupakan derivat klorokuin dengan profil keamanan yang lebih baik, terutama pada penggunaan jangka panjang. Oleh karena itu, beberapa ahli melakukan penelitian untuk melihat efek hidroksiklorokuin terhadap SARS-CoV-2.1


Mekanisme kerja hidroksiklorokuin pada COVID- 19 belum jelas, diduga serupa dengan klorokuin

yaitu  melalui      hambatan fusi dan uncoating virus, alkalisasi lisosomal, interaksi dengan reseptor ACE2, dan sebagai imunomodulator.1

Farmakokinetik


Hidroksiklorokuin       diabsorbsi       cepat pada pemberian oral dan terdistribusi luas ke jaringan. Bioavailabilitasnya 67%-74%, kadar puncak tercapai  dalam 3,3 jam. Hidroksiklorokuin dimetabolisme oleh enzim CYP2C8,  CYP2D6,dan CYP3A4   menjadi desetilhidroksiklorokuin dan desetilklorokuin.2 Hidroksiklorokuin dan metabolitnya diekskresi melalui ginjal secara lambat. Waktu paruh terminal hidroksiklorokuin sekitar 40-50 hari.

Efek samping dan toksisitas


Meskipun relatif aman bila digunakan sesuai rekomendasi dosis, hidroksiklorokuin dapat menimbulkan efek samping serius. Gangguan jantung bisa terjadi pada penggunaan akut maupun kronik. Dapat terjadi kardiomiopati, pemanjangan QT interval yang menimbulkan aritmia, miopati, neuripati, dan hipoglikemia. Kerusakan retina yang menetap dapat terjadi pada penggunaan jangka panjang.3

Kontraindikasi


Alergi terhadap klorokuin atau hidroksiklorokuin atau derivat 4-aminokuinolin lain. Hati-hati penggunaan pada pasien gangguan jantung, diabetes mellitus, epilepsi, gangguan fungsi hati.3

Interaksi obat


  • Insulin dan obat anti diabetik lainnya: hidroksiklorokuin dapat meningkatkan efek hipoglikemik
  • Obat-obat yang memperpanjang interval QT meningkatkan potensi kejadian aritmia jantung
  • Antasid dan kaolin menurunkan absorpsi hidroksiklorokuin

Bukti efikasi dan keamanan pada COVID-19


  1. Penelitian in vitro menggunakan sel Vero terinfeksi SARS-Cov2 memperlihatkan hidroksiklorokuin (EC50=0.72µM) dapatmenghambat virus lebih poten dari klorokuin (EC50=5.47µM) sebagai anti SARS- CoV-2, sehingga dosis efektif yang diperlukan lebih 4
  2. Uji klinik preliminary (open label, non randomized) oleh Gautret, dkk di Perancis terhadap total 36 pasien positif COVID-19 (baik yang asimptomatik ataupun yang memiliki gejala infeksi saluran napas atas dan bawah) membandingkan terapi hidroksiklorokuin sulfat 3 x 200 mg selama 10 hari dengan terapi suportif 5Hasilnya pasien yang mendapat terapi hidroksiklorokuin (n=26) menunjukkan hasil PCR virus dari swab saluran napas lebih banyak yang menjadi negatif pada hari ke 6 dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapat terapi suportif (n=16), yaitu 70% dibanding 12.5%. Hasil pemeriksaan PCR virus pasien sudah mulai tampak berbeda bermakna sejak hari ke 3. Beberapa pasien pada penelitian ini juga mendapat tambahan terapi azitromisin dan tampak efek sinergis dalam konversi hasil pemeriksaan PCR pasien. Hasil penelitian ini masih perlu dikonfirmasi dengan penelitian lanjutan karena jumlah sampel yang sedikit.
  3. Studi pendahuluan oleh Chen Jun et al pada total 30 pasien COVID-10 untuk membandingkan efikasi penggunaan hidroksiklorokuin 400 mg per hari selama 5 hari dengan pengobatan konvensional saja memperlihatkan bahwa pada hari ke 7 hasil swab tenggorok COVID-19 negatif pada 13 (86.7%) kasus dalam kelompok hidroksiklorokuin, dan     14  (93.3%)  kasus pada   kelompok   kontrol      (P>0.05). Lama perawatan, waktu mencapai suhu tubuh normal, juga tidak berbeda bermakna antara dua kelompok. Efek samping diare dan abnormalitas fungsi hati sebanding pada kelompok hidroksiklorokuin dan kontrol(26,7% vs 20%, p>0.05
  4. Lebih dari 10 uji klinik hidroksiklorokuin sebagai terapi atau profilaksis COVID19 di seluruh dunia masih berlangsung hingga saat ini. Beberapa negara membuat rekomendasi penggunaan hidroksiklorokuin untuk COVID19 Berdasarkan hasil penelitian in vitro dan preliminary (pre published) yang telah ada .4

Referensi


1. Zhou D, Dai SM, Tong Q. COVID-19: a recommendation to examine the effect of hydroxychloroquine in preventing infection and progression. J Antimicrob Chemother. 1-4 (2020)
2. Tanaka E, Taniguchi A, Urano W, Yamanaka H, Kamatani N. Pharmacogenetics of disease- modifying anti-rheumatic drugs. Practice & Research Clinical Rheumatology 2004;18(2):233-47.
3. Vinetz JM. Chemotherapy of Malaria. In: Brunton LL, Danfan RH, Knollmann BJ, editors. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics 13th ed. New York: McGraw-Hill Company. 2018.p.976-83
4. Yao X, et al. In Vitro Antiviral Activity and Projection of Optimized Dosing Design of Hydroxychloroquine for the Treatment of Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). International Journal of Antimicrobial Agents – In Press (2020).
5. Gautret et al. (2020) Hydroxychloroquine and azithromycin as a treatment of COVID-19: results of an open-label non-randomized clinical trial. International Journal of AntimicrobialAgents – In Press 17 March 2020 – DOI : 10.1016/j.ijantimicag.2020.105949
6. CHEN Jun, LIU Danping, LIU Li, LIU Ping, XU Qingnian, XIA Lu , et al. A pilot study of hydroxychloroquine in treatment of patients with common coronavirus disease-19 (COVID- 19). Journal of Zhejiang University.March 2020

Penggunaan pada pasien COVID-19


  • Berbagai uji klinik penggunaan hidroksiklorokuin untuk COVID-19 masih
  • Bukti efikasi dan keamanan penggunaan hidroksiklorokuin pada COVID-19 masih terbatas, didasari hasil uji pendahuluan berskala kecil, yang hasilnya masih kontroversi sehingga harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
  • Meskipun relatif  aman, hidroksiklorokuin dapat menimbulkan efek samping serius seperti aritmia jantung, sehingga penggunaannya harus selalu dimonitor.
  • Perlu diperhatikan interaksi dengan obat-obat lain yang berpotensi memperpanjang interval QT seperti antimikroba golongan kuinolon (misalnya levofloksasin), makrolid (misalnya azitromisin), dan anti aritmia.
  • Dosis yang direkomendasikan berdasar uji pendahuluan:4
    • Dosis awal 400 mg pada saat diagnosis
    • Dilanjutkan dengan 400 mg 12 jam kemudianKeputusan menggunakan hidroksiklorokuin harus didasari pertimbangan manfaat dan risiko yang cermat bagi pasien.
    • Kemudian 200 mg 2 x sehari sampai hari ke 5.

4. Oseltamivir


Oseltamivir tersedia dalam bentuk oseltamivir fosfat, suatu prodrug yang dimetabolisme oleh esterase saluran cerna dan hati menjadi bentuk aktifnya oseltamivir karboksilat. Keamanan obat ini cukup baik, dan hanya tersedia dalam bentuk sediaan oral.1 Oseltamivir disetujui untuk pengobatan dan pencegahan influenza tipe A dan B.1

Mekanisme kerja


Oseltamivir menghambat enzim neuraminidase virus influenza yang berperan dalam melepaskan virus-virus baru hasil replikasi di dalam sel terinfeksi sehingga dapat menginfeksi sel-sel lain.1

Farmakokinetik


Oseltamivir mudah diserap setelah pemberian oral dan dikonversi oleh esterase hepatik dan plasma menjadi metabolit aktifnya oseltamivir karboksilat.1 Kadar Oseltamivir di dalam cairan telinga tengah dan rongga sinus manusia setara dengan kadarnya dalam darah. Eliminasi oseltamivir terutama melalui sekresi ginjal.

Dosis


Dosis yang diberikan untuk pengobatan influenza tipe A dan B adalah 2×75 mg selama 5 hari (dewasa) dan 2×3 mg/kg selama 5 hari (anak-anak). Oseltamivir belum terbukti aman untuk ibu hamil (kategori C).1,2

Berbeda dengan virus influenza, virus corona tidak memerlukan neuraminidase untuk melepaskan diri dari sel inang. Setelah bereplikasi di dalam sel inang, virus corona membutuhkan bantuan protein E virus dan proses eksositosis untuk melepaskan diri.3,4 Pada bulan Januari 2020, ada laporan kasus di

Cina  mengenai  pasien  yang  terinfeksi dengan virus SARS-Cov2 (COVID-19) dan influenza A. Pada kasus tersebut oseltamivir diberikan untuk mengobati koinfeksi virus influenza tipe A, bukan spesifik untuk COVID-19.5

Terdapat tiga penelitian yang masih berjalan mengenai peranan oseltamivir terhadap COVID- 19.6-8

Referensi:


1. Acosta PE. Antiviral Agents (Nonretroviral). In: Brunton LL, Danfan RH, Knollmann BJ, editors. Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics 13th ed. New York: McGraw-Hill Company. 2018.p.1105-16.
2. Sur M, Baker MB. Oseltamivir. [Updated 2019 Oct 10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539909/.
3. Fehr AR and Perlman S. Coronaviruses: An Overview of Their Replication and Pathogenesis. Methods Mol Biol. 2015; 1282:1-23.
4. Dou D, Revol R, Ostbye H, Wang H, Daniels R. Influenza A Virus Cell Entry, Replication, Virion Assembly and Movement. Front. Immunol. 2018. 9:1581.
5. Wu X, Cai Y, Huang X, Yu X, Zhao L, Wang F, et.al. Co-infection with SARS-CoV-2 and Influenza A Virus in Patient with Pneumonia, China. Emerg Infect Dis. Jun 2020. (Cited in 21 March 2020).
6. Ning Q and Han M. A Randomized, Open, Controlled Clinical Study to Evaluate the efficacy of ASC09 and Ritonavir for 2019-nCoV Pneumonia. Feb 2020. ClinicalTrial.gov:NCT04261270.
7. Ning Q and Han M. A Prospective/retrospective, randomized controlled Clinical Study of Antiviral therapy in the 2019-nCoV Pneumonia. Feb 2020. ClinicalTrial.gov: NCT04255017.
8. Kongsaedao S. Various Combination of Protease Inhibitors, Oseltamivir, favipiravir, and Chloroquin for treatment of COVID19: A Randomized control trial (THDMS-COVID19). March 2020. ClinicalTrial.gov: NCT04303299.

Penggunaan di pasien COVID-19


  • Efikasi penggunaan oseltamivir pada pasien COVID-19 belum dapat disimpulkan, beberapa uji klinik masih berjalan
  • Oseltamivir adalah penghambat enzim neuraminidase virus, sehingga dapat menghambat penglepasan virus-virus baru hasil replikasi dari sel inangnya.
  • SARS-Cov-2 tidak memiliki enzim neuraminidase, dengan demikian, ada kemungkinan penggunaan oseltamivir sebagai anti virus pada COVID-19 tidak bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PPDB 2024 SMK Negeri 17 Samarinda

Waaaahh...  Sudah Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) aja ini, hayooo siapa yang mau jadi korban selanjutnya??? Bcanda aja yak...  Untuk y...